2015
Awal tahun yang penuh pelajaran hidup..
Akhir Januari kemarin, tepatnya tanggal 28 Januari, saya mengalami keguguran. Sementara itu, 28 Februari kemarin, secara resmi saya resign atau berhenti bekerja dan memutuskan untuk menjadi full time housewife sekaligus menjalani masa recovery di rumah. Dan kemarin, pernikahan kami memasuki tahun ke-3.
Keguguran (/ke·gu·gur·an/ )
Membacanya saja rasanya menyeramkan ya?
Keguguran itu sendiri adalah keluarnya janin dengan tidak disengaja sebelum waktunya lahir (sumber : kbbi )
Selasa, 27 Januari 2015, saya dan suami cek up ke obgyn di RS Hermina Serpong. Setiap Selasa, sebulan sekali harusnya menjadi jadwal rutin untuk check up ke obgyn. Namun, belum satu minggu, saya dan suami harus kembali karena saya mengalami pendarahan ringan sejak Sabtu sore, 24 Januari 2015. Saat cek up itu, dokter dan kami berdua sudah bisa melihat si janin (Alhamdulillah), kecil, mungil, dan terlihat lemah. Saat itu juga dokter sebenarnya sudah menyatakan tidak mendengar atau melihat adanya detak jantung dari janin. Namun, beliau memberikan saya opsi, mau dilihat perkembangannya atau mengikuti saran yang sudah seharusnya, yaitu kuret (mengeluarkan janin yang sudah tidak berkembang/mati, karena saat seperti itu, tubuh mengenali janin sebagai benda asing yang berbaya bagi kesehatan dan kelangsungan si ibu). Akhirnya, saya memutuskan untuk melihat perkembangannya seminggu lagi, jika memang tidak berkembang maka ya sudah, mungkin itu sudah jalannya. Disini, dokter Nina juga menguatkan saya dan suami agar mempersiapkan mental untuk yang terburuk (mengingat ini kehamilan pertama setelah hampir dua tahun menikah) tetapi tetap tawakal kepada Allah SWT, karena Dia adalah Sang Maha Pengatur.
Dokter pun masih menaruh harapan besar bahwa hasil cek up ini mungkin hanya karena keterbatasan indera beliau dan kami sebagai manusia, karena sebelumnya, saat cek up pertama kali dengan beliau pada 13 Januari 2015, dokter tidak melihat adanya kantung hamil, saya bahkan sampai harus di test pack ulang di lab rumah sakit dan hasilnya positif. Disitu dokter mengungkapkan kekurangannya sebagai manusia dan memberikan masukan positif agar saya dan suami tetap tawakal dan harus kembali minggu depannya. Saya pun cek up pada 22 Januari 2015 dan disini dokter sudah bisa melihat kantung hamil, tapi lebih dari 1, bahkan dari hasil usg, kami berempat (termasuk bidan yang mendampingi) melihat ada 3-4 kantung hamil. Disni dokter khawatir saya mengalami hamil mola atau hamil anggur (hamil bohongan dan lebih mengarah pada tumor jinak yang jika tidak dikeluarkan segera akan mengancam kesehatan dan nyawa si ibu). Maka dari itu, dokter menyarankan saya kembali lagi pada tanggal 3 Februari 2015, jadi di observe dulu apakah benar dugaannya atau salah. Namun, karena saya mengalami pendarahan pada Sabtu, 24 Januari maka kami percepat cek up pada tanggal 27 Januari. Ternyata, lagi-lagi, kami sebagai manusia dikejutkan dengan terlihatnya janin mungil sepanjang kurang lebih 1,3 cm. Sayang, detaknya tidak terasa, terlihat, ataupun terdengar. Maka, dokter menyarankan kami untuk kembali minggu depannya. Lagi-lagi, untuk diobserve.
Rabu pagi, semua berjalan lancar sampai setelah makan siang sekitar pukul 13.30, saya merasakan sakit yang amat sangat di perut bawah. Rasanya seperti tiba-tiba perut bawah dicengkeram dengan hebat dan ditimpa batu besar. Saya hanya bisa duduk sembari meluruskan kaki di atas meja, beruntung ada adik yang menemani di rumah saat ini. Sekitar pukul 15.00, saya memutuskan untuk mandi karena sejak pagi belum mandi hehehe, saat itu perut masih sakit tapi sudah agak mendingan dari sebelumnya, hanya saja saya harus berjalan bungkuk dan mandi sembari duduk. Pukul 16.00, perut mendadak kram lagi dan sakit menyerang sampai rasanya lemaaass banget badan ini. Di saat sakit, saya merasa ingin buang air kecil, tapi karena takut (berdasarkan blog dan cerita di forum juga cerita tante dan teman yang sempat keguguran, sakit yang saya alami mengarah kesana) jadilah saya menahan pipis sampai suami pulang, sekitar pukul 19.30. Saya pun buru-buru berjalan ke toilet walau pelan seperti kura-kura sembari bungkuk. Benar saja, saat buang air kecil, saya melihat ke bawah dan menemukan gumpalan darah sebesar setengah genggam tangan orang dewasa. Kaget, saya berteriak histeris memanggil suami dan adik. Shock? Banget! Saya takut gumpalan darah itu adalah janin yang keluar, suami pun saya mintai tolong untuk mengambilnya tapi tidak bisa karena gumpalan tersebut hancur saat berusaha digapai dan digenggam. Sementara saya syok dan menangis tersedu-sedu, suami menelpon dokter Nina dan adik membantu menyiapkan baju untuk saya ke dokter. Ya, walaupun mental sudah disiapkan jauh-jauh hari, apa yang saya alami malam itu tidak akan terlupakan. Sakitnya tidak tertahankan (beruntung, saya juga tidak pernah merasakan sakit saat haid, eh, pernah sekali saja, saat Oktober 2014. Sebelum atau sesudahnya belum pernah).
Sesampainya di Hermina Serpong, saya langsung disambut bidan dan diantar ke ruangan dokter Nina. Disitu saya di usg dan hasilnya, pembuluh darah yang tersambung ke plasenta memang sudah tidak ada (sudah terlebih dahulu luruh saat saya buang air kecil) sementara janin dan kantungnya masih ada di rahim. Lalu dokter mencoba memasukkan jarinya ke dalam mulut rahim dan menyatakan kalau saya baru pembukaan satu. MasyaAllah, pembukaan satu saja sakitnya seperti ini, apa kabar yang melahirkan sampai bukaan sembilan atau sepuluh? Malam itu juga diputuskan untuk dipasang laminaria (alat untuk membuat pembukaan pada rahim-bisa coba googling) dan di kuret esok paginya. Dokter merasa prihatin karena saya tidak bisa berhenti menangis dan masih tersedu-sedu saat beliau menjelaskan prosedurnya ke suami.
Sakit belum berhenti. Saya diantar ke ruang bersalin sembari menunggu ruangan untuk menginap disiapkan dan dokter menyiapkan alat-alat untuk memasang laminaria agar terjadi pembukaan. Dokter dan bidan sudah saya tanyai berkali-kali, apakah akan sakit saat dipasang laminaria? Jawaban meraka tetap sama,"Iya, sedikit, Bu," dengan senyum manis. Oke, saya percaya saja. Saat masuk ke ruangan seperti ruang bersalin dengan alat-alat melahirkan, saya diminta duduk di kursi yang biasa untuk melahirkan normal sepertinya. Kaki diikat dan dinaikkan (disangga penopang) lalu dokter mulai 'mendongkrak'. Seram ya? Kalau ingat suaranya, memang seperti sedang mendongkrak mobil kalau mogok. Belum lagi sakitnya, saya tidak tahan sampai agak meronta dan hampir menendang bidan yang ada di dekat kaki kanan saya. Tapi dokter yang sabar meminta saya untuk tenang dan rileks agar prosesnya lebih cepat. Oke, pasrah. Sambil sedikit meronta akhirnya laminaria selesai dipasang dan lubang vagina disumpel gulungan kassa dengan banyak betadine. Lalu saya harus pindah ke kamar opname di sebelahnya dengan berjalan ngangkang, ya, bayangin aja ada sesuatu menyumbat lubang vagina dan kita harus berjalan. Mungkin yang terbiasa pakai tampon tau rasanya. Seperti ada yang mengganjal.
Saya habiskan banyak waktu untuk tidur diselingi suntik sana sini dan minum juga makan sebelum jam 5 pagi karena harus puasa. Buang air kecil pun harus ditemani suami, dipegangi, dan jongkok di lantai agar jika terjadi sesuatu tidak langsung masuk ke kloset.
Tibalah waktunya. Pukul 8 pagi saya dipindahkan ke ruang sebelum operasi. Diinfus dan lagi-lagi tidur saja kerjaannya. Kasihan suami, menunggui saya semalaman dan tidurnya tidak nyenyak karena hanya ada kursi lipat. Pukul 9 bidan masuk dan menyuruh saya mengganti baju dan kami (saya, suami, adik, juga bidan) sempat bersenda gurau dulu agar tidak tegang. Pukul 10, saya dibawa ke ruang operasi dan cukup norak karena saya belum pernah masuk ruang operasi sekalipun (pernah satu kali saat dilahirkan di dunia dulu :p). Lampunya besar, tangan saya diikat agar tidak bergerak karena yang kiri diinfus dan kanan dipasangi alat penghitung detak jantung dkk, kaki diangkat lagi dan diikat, bidan mondar-mandir, satu bidan berbadan besar menemani saya sembari menunggu dokter anestesi dan dokter Nina. Tiba-tiba dia bertanya ramah,"Tegang ya, Bu?" Rasanya ingin jawab,"Menurut lo?!" Tapi saya hanya bisa tersenyum canggung. Dokter anestesi pun masuk dan seperti menyuntikkan sesuatu. Dia mengajak saya mengobrol dua menit kemudian,"Berat badan ibu berapa?" Hah? Ngga salah pertanyaannya? Kan ada recordnya? Tapi saya tetap jawab,"68kg, dok." Dokter pun bergurau,"80 kg kali, salah itu timbangannya." Entah kenapa saya merasa gurauannya lucu lalu tiba-tiba semua berbayang dan saat bangun saya sudah di kamar sebelumnya. Kepala terasa pusing muter-muter dan haus sekali. Setelah minum beberapa teguk saya tertidur kembali. Akhirnya bidan membangunkan saat pukul 12.00 karena kalau tidur terlalu lama malah jadi bahaya, nanti ngga bangun lagi. Merasa agak bugar, saya diperbolehkan pulang dan lapar menyerang. Kami bertiga pun menuju Hoka-hoka bento BSD Square. Tapi saat sampai disana, rasa lapar hilang dan tangan gemetaran tidak bisa memegang sumpit. Akhirnya sisa hari itu saya habiskan dengan istirahat.
Kata suami, janin kami berwarna putih dan berbentuk seperti pilus tapi agak kecil sedikit dan saat ini masih ada di lab untuk diobservasi penyebabnya. Hipotesa dokter karena memang kualitas janin lemah, jadi saat sperma bertemu sel telur, keduanya dalam keadaan tidak prima ditambah kesibukan saya saat bulan Desember dan harus naik turun tangga beberapa puluh kali dalam seminggu jadilah penyebabnya. Ikhlas, hanya itu sugesti untuk diri sendiri. Walau nyatanya saya butuh seminggu untuk menerima semuanya. Itulah perjuangan untuk menjadi seorang ibu, itulah mengapa pula disebutkan bahwa 'Surga ada di telapak kaki ibu.'
28 Februari 2015
Setelah 3 tahun, 6 bulan bekerja di EF English First BSD, akhirnya saya memutuskan untuk berhenti demi mengejar cita-cita untuk menjadi penulis, aktif kembali menulis, mengurus suami yang sempat tak terurus, mengurus rumah, dan menyembuhkan diri sendiri. Ya, kalau secara psikologis, saya masih dalam masa pemulihan. Dan tidak disangka-sangka, saya mendapat kejutan di hari terakhir bekerja. Saya dikerjai habis-habisan walau kata teman-teman kemarin rencana tidak berjalan seutuhnya tapi saya sudah merasa K.O. Wajah cemong, tapi semua terlihat bahagia.
Berat rasanya, tapi keputusan sudah saya ambil. Namun, jika ada waktu luang, saya masih bisa part time di sana, begitu menurut Ibu Menejer dan teman-teman yang lain. Saya merasa sangat berterima kasih atas kejutan dan kebahagiaan yang dirasa. Allah memang maha baik.
Begitu banyak memori yang mungkin tidak akan saya temukan di kantor lain. Bahkan saat saya menyerahkan surat pengunduran diri, Ibu Menejer tertawa dan berkata,"Ini pertama kalinya kamu bikin surat ini ya?" Thank you so much, guys! *kiss
2 Maret 2015
Pernikahan saya dan suami memasuki tahun ke-tiga. 2 Maret kemarin kami habiskan berduaan saja di rumah. Benar-benar quality time :)
Suami tidak masuk kerja karena saya memang kurang sehat, batuk sudah seminggu lebih dan setiap sore suara pasti hilang sampai malam. Paginya bersin-bersin dan batuk-batuk lagi. Setelah ke dokter langganan sejak saya kecil, kami pergi makan malam di Taman Jajan BSD, bubur malam itu terasa enak sekali (entah karena lapar atau karena makannya di hari spesial bersama suami tercinta ya hehehe).
2 tahun bukan waktu yang sebentar, suk-duka, senang-sedih, naik-turun, semua kita rasakan dan jalani bersama. Let's grow old and traveling around the world together. Stay with me through our up and down, baby. I love you! *smooch
Itulah 61 hari pertama saya di 2015 ini... Alhamdulillah hidup saya dikelilingi orang-orang baik hati yang saya sayangi dan insyaAllah menyayangi saya juga :)
Semoga apa yang saya bagi disini bisa bermanfaat bagi kalian dan semoga kalian para calon ibu, senantiasa diberi kesehatan. Thank you, Allah. I am nothing without You.
"Once you make a decision, the universe conspires to make it happen." - Ralph Waldo Emerson.
Awal tahun yang penuh pelajaran hidup..
Akhir Januari kemarin, tepatnya tanggal 28 Januari, saya mengalami keguguran. Sementara itu, 28 Februari kemarin, secara resmi saya resign atau berhenti bekerja dan memutuskan untuk menjadi full time housewife sekaligus menjalani masa recovery di rumah. Dan kemarin, pernikahan kami memasuki tahun ke-3.
Keguguran (/ke·gu·gur·an/ )
Membacanya saja rasanya menyeramkan ya?
Keguguran itu sendiri adalah keluarnya janin dengan tidak disengaja sebelum waktunya lahir (sumber : kbbi )
Selasa, 27 Januari 2015, saya dan suami cek up ke obgyn di RS Hermina Serpong. Setiap Selasa, sebulan sekali harusnya menjadi jadwal rutin untuk check up ke obgyn. Namun, belum satu minggu, saya dan suami harus kembali karena saya mengalami pendarahan ringan sejak Sabtu sore, 24 Januari 2015. Saat cek up itu, dokter dan kami berdua sudah bisa melihat si janin (Alhamdulillah), kecil, mungil, dan terlihat lemah. Saat itu juga dokter sebenarnya sudah menyatakan tidak mendengar atau melihat adanya detak jantung dari janin. Namun, beliau memberikan saya opsi, mau dilihat perkembangannya atau mengikuti saran yang sudah seharusnya, yaitu kuret (mengeluarkan janin yang sudah tidak berkembang/mati, karena saat seperti itu, tubuh mengenali janin sebagai benda asing yang berbaya bagi kesehatan dan kelangsungan si ibu). Akhirnya, saya memutuskan untuk melihat perkembangannya seminggu lagi, jika memang tidak berkembang maka ya sudah, mungkin itu sudah jalannya. Disini, dokter Nina juga menguatkan saya dan suami agar mempersiapkan mental untuk yang terburuk (mengingat ini kehamilan pertama setelah hampir dua tahun menikah) tetapi tetap tawakal kepada Allah SWT, karena Dia adalah Sang Maha Pengatur.
Dokter pun masih menaruh harapan besar bahwa hasil cek up ini mungkin hanya karena keterbatasan indera beliau dan kami sebagai manusia, karena sebelumnya, saat cek up pertama kali dengan beliau pada 13 Januari 2015, dokter tidak melihat adanya kantung hamil, saya bahkan sampai harus di test pack ulang di lab rumah sakit dan hasilnya positif. Disitu dokter mengungkapkan kekurangannya sebagai manusia dan memberikan masukan positif agar saya dan suami tetap tawakal dan harus kembali minggu depannya. Saya pun cek up pada 22 Januari 2015 dan disini dokter sudah bisa melihat kantung hamil, tapi lebih dari 1, bahkan dari hasil usg, kami berempat (termasuk bidan yang mendampingi) melihat ada 3-4 kantung hamil. Disni dokter khawatir saya mengalami hamil mola atau hamil anggur (hamil bohongan dan lebih mengarah pada tumor jinak yang jika tidak dikeluarkan segera akan mengancam kesehatan dan nyawa si ibu). Maka dari itu, dokter menyarankan saya kembali lagi pada tanggal 3 Februari 2015, jadi di observe dulu apakah benar dugaannya atau salah. Namun, karena saya mengalami pendarahan pada Sabtu, 24 Januari maka kami percepat cek up pada tanggal 27 Januari. Ternyata, lagi-lagi, kami sebagai manusia dikejutkan dengan terlihatnya janin mungil sepanjang kurang lebih 1,3 cm. Sayang, detaknya tidak terasa, terlihat, ataupun terdengar. Maka, dokter menyarankan kami untuk kembali minggu depannya. Lagi-lagi, untuk diobserve.
Rabu pagi, semua berjalan lancar sampai setelah makan siang sekitar pukul 13.30, saya merasakan sakit yang amat sangat di perut bawah. Rasanya seperti tiba-tiba perut bawah dicengkeram dengan hebat dan ditimpa batu besar. Saya hanya bisa duduk sembari meluruskan kaki di atas meja, beruntung ada adik yang menemani di rumah saat ini. Sekitar pukul 15.00, saya memutuskan untuk mandi karena sejak pagi belum mandi hehehe, saat itu perut masih sakit tapi sudah agak mendingan dari sebelumnya, hanya saja saya harus berjalan bungkuk dan mandi sembari duduk. Pukul 16.00, perut mendadak kram lagi dan sakit menyerang sampai rasanya lemaaass banget badan ini. Di saat sakit, saya merasa ingin buang air kecil, tapi karena takut (berdasarkan blog dan cerita di forum juga cerita tante dan teman yang sempat keguguran, sakit yang saya alami mengarah kesana) jadilah saya menahan pipis sampai suami pulang, sekitar pukul 19.30. Saya pun buru-buru berjalan ke toilet walau pelan seperti kura-kura sembari bungkuk. Benar saja, saat buang air kecil, saya melihat ke bawah dan menemukan gumpalan darah sebesar setengah genggam tangan orang dewasa. Kaget, saya berteriak histeris memanggil suami dan adik. Shock? Banget! Saya takut gumpalan darah itu adalah janin yang keluar, suami pun saya mintai tolong untuk mengambilnya tapi tidak bisa karena gumpalan tersebut hancur saat berusaha digapai dan digenggam. Sementara saya syok dan menangis tersedu-sedu, suami menelpon dokter Nina dan adik membantu menyiapkan baju untuk saya ke dokter. Ya, walaupun mental sudah disiapkan jauh-jauh hari, apa yang saya alami malam itu tidak akan terlupakan. Sakitnya tidak tertahankan (beruntung, saya juga tidak pernah merasakan sakit saat haid, eh, pernah sekali saja, saat Oktober 2014. Sebelum atau sesudahnya belum pernah).
Sesampainya di Hermina Serpong, saya langsung disambut bidan dan diantar ke ruangan dokter Nina. Disitu saya di usg dan hasilnya, pembuluh darah yang tersambung ke plasenta memang sudah tidak ada (sudah terlebih dahulu luruh saat saya buang air kecil) sementara janin dan kantungnya masih ada di rahim. Lalu dokter mencoba memasukkan jarinya ke dalam mulut rahim dan menyatakan kalau saya baru pembukaan satu. MasyaAllah, pembukaan satu saja sakitnya seperti ini, apa kabar yang melahirkan sampai bukaan sembilan atau sepuluh? Malam itu juga diputuskan untuk dipasang laminaria (alat untuk membuat pembukaan pada rahim-bisa coba googling) dan di kuret esok paginya. Dokter merasa prihatin karena saya tidak bisa berhenti menangis dan masih tersedu-sedu saat beliau menjelaskan prosedurnya ke suami.
Sakit belum berhenti. Saya diantar ke ruang bersalin sembari menunggu ruangan untuk menginap disiapkan dan dokter menyiapkan alat-alat untuk memasang laminaria agar terjadi pembukaan. Dokter dan bidan sudah saya tanyai berkali-kali, apakah akan sakit saat dipasang laminaria? Jawaban meraka tetap sama,"Iya, sedikit, Bu," dengan senyum manis. Oke, saya percaya saja. Saat masuk ke ruangan seperti ruang bersalin dengan alat-alat melahirkan, saya diminta duduk di kursi yang biasa untuk melahirkan normal sepertinya. Kaki diikat dan dinaikkan (disangga penopang) lalu dokter mulai 'mendongkrak'. Seram ya? Kalau ingat suaranya, memang seperti sedang mendongkrak mobil kalau mogok. Belum lagi sakitnya, saya tidak tahan sampai agak meronta dan hampir menendang bidan yang ada di dekat kaki kanan saya. Tapi dokter yang sabar meminta saya untuk tenang dan rileks agar prosesnya lebih cepat. Oke, pasrah. Sambil sedikit meronta akhirnya laminaria selesai dipasang dan lubang vagina disumpel gulungan kassa dengan banyak betadine. Lalu saya harus pindah ke kamar opname di sebelahnya dengan berjalan ngangkang, ya, bayangin aja ada sesuatu menyumbat lubang vagina dan kita harus berjalan. Mungkin yang terbiasa pakai tampon tau rasanya. Seperti ada yang mengganjal.
Saya habiskan banyak waktu untuk tidur diselingi suntik sana sini dan minum juga makan sebelum jam 5 pagi karena harus puasa. Buang air kecil pun harus ditemani suami, dipegangi, dan jongkok di lantai agar jika terjadi sesuatu tidak langsung masuk ke kloset.
Tibalah waktunya. Pukul 8 pagi saya dipindahkan ke ruang sebelum operasi. Diinfus dan lagi-lagi tidur saja kerjaannya. Kasihan suami, menunggui saya semalaman dan tidurnya tidak nyenyak karena hanya ada kursi lipat. Pukul 9 bidan masuk dan menyuruh saya mengganti baju dan kami (saya, suami, adik, juga bidan) sempat bersenda gurau dulu agar tidak tegang. Pukul 10, saya dibawa ke ruang operasi dan cukup norak karena saya belum pernah masuk ruang operasi sekalipun (pernah satu kali saat dilahirkan di dunia dulu :p). Lampunya besar, tangan saya diikat agar tidak bergerak karena yang kiri diinfus dan kanan dipasangi alat penghitung detak jantung dkk, kaki diangkat lagi dan diikat, bidan mondar-mandir, satu bidan berbadan besar menemani saya sembari menunggu dokter anestesi dan dokter Nina. Tiba-tiba dia bertanya ramah,"Tegang ya, Bu?" Rasanya ingin jawab,"Menurut lo?!" Tapi saya hanya bisa tersenyum canggung. Dokter anestesi pun masuk dan seperti menyuntikkan sesuatu. Dia mengajak saya mengobrol dua menit kemudian,"Berat badan ibu berapa?" Hah? Ngga salah pertanyaannya? Kan ada recordnya? Tapi saya tetap jawab,"68kg, dok." Dokter pun bergurau,"80 kg kali, salah itu timbangannya." Entah kenapa saya merasa gurauannya lucu lalu tiba-tiba semua berbayang dan saat bangun saya sudah di kamar sebelumnya. Kepala terasa pusing muter-muter dan haus sekali. Setelah minum beberapa teguk saya tertidur kembali. Akhirnya bidan membangunkan saat pukul 12.00 karena kalau tidur terlalu lama malah jadi bahaya, nanti ngga bangun lagi. Merasa agak bugar, saya diperbolehkan pulang dan lapar menyerang. Kami bertiga pun menuju Hoka-hoka bento BSD Square. Tapi saat sampai disana, rasa lapar hilang dan tangan gemetaran tidak bisa memegang sumpit. Akhirnya sisa hari itu saya habiskan dengan istirahat.
Kata suami, janin kami berwarna putih dan berbentuk seperti pilus tapi agak kecil sedikit dan saat ini masih ada di lab untuk diobservasi penyebabnya. Hipotesa dokter karena memang kualitas janin lemah, jadi saat sperma bertemu sel telur, keduanya dalam keadaan tidak prima ditambah kesibukan saya saat bulan Desember dan harus naik turun tangga beberapa puluh kali dalam seminggu jadilah penyebabnya. Ikhlas, hanya itu sugesti untuk diri sendiri. Walau nyatanya saya butuh seminggu untuk menerima semuanya. Itulah perjuangan untuk menjadi seorang ibu, itulah mengapa pula disebutkan bahwa 'Surga ada di telapak kaki ibu.'
28 Februari 2015
Setelah 3 tahun, 6 bulan bekerja di EF English First BSD, akhirnya saya memutuskan untuk berhenti demi mengejar cita-cita untuk menjadi penulis, aktif kembali menulis, mengurus suami yang sempat tak terurus, mengurus rumah, dan menyembuhkan diri sendiri. Ya, kalau secara psikologis, saya masih dalam masa pemulihan. Dan tidak disangka-sangka, saya mendapat kejutan di hari terakhir bekerja. Saya dikerjai habis-habisan walau kata teman-teman kemarin rencana tidak berjalan seutuhnya tapi saya sudah merasa K.O. Wajah cemong, tapi semua terlihat bahagia.
Berat rasanya, tapi keputusan sudah saya ambil. Namun, jika ada waktu luang, saya masih bisa part time di sana, begitu menurut Ibu Menejer dan teman-teman yang lain. Saya merasa sangat berterima kasih atas kejutan dan kebahagiaan yang dirasa. Allah memang maha baik.
Surprise, surprise!! ^.^ (23 Februari 2015 saat ultah)
Another surprise!!! (Abaikan wajah dakocan saya)
My EF team :')
With lovely friends :)
Begitu banyak memori yang mungkin tidak akan saya temukan di kantor lain. Bahkan saat saya menyerahkan surat pengunduran diri, Ibu Menejer tertawa dan berkata,"Ini pertama kalinya kamu bikin surat ini ya?" Thank you so much, guys! *kiss
2 Maret 2015
Pernikahan saya dan suami memasuki tahun ke-tiga. 2 Maret kemarin kami habiskan berduaan saja di rumah. Benar-benar quality time :)
Suami tidak masuk kerja karena saya memang kurang sehat, batuk sudah seminggu lebih dan setiap sore suara pasti hilang sampai malam. Paginya bersin-bersin dan batuk-batuk lagi. Setelah ke dokter langganan sejak saya kecil, kami pergi makan malam di Taman Jajan BSD, bubur malam itu terasa enak sekali (entah karena lapar atau karena makannya di hari spesial bersama suami tercinta ya hehehe).
2 tahun bukan waktu yang sebentar, suk-duka, senang-sedih, naik-turun, semua kita rasakan dan jalani bersama. Let's grow old and traveling around the world together. Stay with me through our up and down, baby. I love you! *smooch
Itulah 61 hari pertama saya di 2015 ini... Alhamdulillah hidup saya dikelilingi orang-orang baik hati yang saya sayangi dan insyaAllah menyayangi saya juga :)
Semoga apa yang saya bagi disini bisa bermanfaat bagi kalian dan semoga kalian para calon ibu, senantiasa diberi kesehatan. Thank you, Allah. I am nothing without You.
"Once you make a decision, the universe conspires to make it happen." - Ralph Waldo Emerson.