Pandemi Covid-19 ini belum ada hilalnya kapan akan usai. Sementara pertumbuhan angka positif di Indonesia makin besar, walau itu hanya sebagian kecil saja yang dites kabarnya. Sementara, orang-orang sudah mulai jenuh, mulai berkumpul, mulai mudik, mulai beraktifitas layaknya tak ada pandemi.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
وَلَـنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَـوْفِ وَا لْجُـوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْاَ مْوَا لِ وَا لْاَ نْفُسِ وَا لثَّمَرٰتِ ۗ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ ۙ
"Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar," (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 155)
الَّذِيْنَ اِذَاۤ اَصَا بَتْهُمْ مُّصِيْبَةٌ ۙ قَا لُوْۤا اِنَّا لِلّٰهِ وَاِ نَّـاۤ اِلَيْهِ رٰجِعُوْنَ ۗ
"(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali)." (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 156)
اُولٰٓئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوٰتٌ مِّنْ رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ ۗ وَاُ ولٰٓئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُوْنَ
"Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 157)
Kita ini sedang diuji untuk bisa naik kelas. Dan bicara 'sedikit ketakutan' di masa pandemi, saya dan keluarga Alhamdulillah sudah kira-kira dua kali merasakannya.
Pertama,
Di Februari 2020, saya dan suami terkena batuk pilek yang cukup mengganggu. Kebetulan adek dan Bundo baru pulang dari Jepang sebelum kami sakit, dan kami sudah tau bahwa ada virus-virus nakal sedang merebak di Cina dan Jepang (saat adek dan Bundo baru sampai, langsung kami infokan untuk pakai masker setiap keluar dan banyak minum air). Disana juga ternyata sudah mulai banyak info tentang corona ini. Tapi namanya lagi jadi turis, kita ga bisa kontrol ketemu siapa saja, banyak juga turis dari Cina pada saat itu. Dan adik saya sempat demam tinggi 1 hari sebelum pulang kemari, padahal waktu itu sudah mulai diberlakukan temperature check di bandara, jadi agak ketar ketir takut adek ngga boleh terbang besoknya. Segala cara dicoba biar demamnya turun, dan dia jadi rajin minum plus doyan Tolak Angin gara-gara ini 😄 Alhamdulillah panas turun, kami berkumpul lagi, tapi kami tidak ketemu dulu untuk satu minggu, kalau pun terpaksa ketemu, adek dan bundo harus pakai masker.
Tidak lama kemudian, saya dan suami kena batuk pilek. Kondisi saya sedang hamil kira-kira usia 4 menuju 5 bulan. Dari awal hamil saya memang mudah batuk pilek, hampir setiap bulan. Dan Februari ini suami ikutan batpil. Tapi dia sampai dadanya sesak, panas, sulit bernapas. Sampai 3 dokter dia datangi dan semuanya bilang kalau suami kena infeksi pernapasan dalam. Apakah suami tertular virus Covid-19? Wallahua'lam. Yang pasti suami ngga pernah segininya kalau sakit sebelumnya. Sampai dua minggu lebih baru sembuh, setelah itu pun masuk kerja tetap saya minta pakai masker, karena kita tidak tahu dan waktu itu kasus Covid disini belum merebak kabarnya. Kalau saya? Ya alhamdulillah ada sesak juga tapi ngga separah suami. Sungguh pembelajaran buat kami bahwa sehat amatlah sangat nikmat.
Kedua..
Agustus 2020, rekan kerja suami ada yang positif, satu ruangan dengan suami, sebut saja A. Sore itu juga ditelfon sama suami diminta siap-siap nginep rumah papa dulu. Suami khawatir sm saya dan anak-anak, ikhtiar menjaga sampai semuanya clear. Apalagi kami punya pengalaman tidak enak saat Zaki dirawat inap di Perina di usia 25 hari, sedihnya minta ampun.
Suami tidak kontak dengan A, tetapi A kontak dengan B dan C, suami kontak dengan B kalau saya tidak salah ingat. Kemudian semua yang kontak dengan A melakukan rapid test, hasilnya mayoritas reaktif lalu semuanya diharuskan tes swab. Suami diminta isolasi mandiri di rumah selama 2 minggu, saya dan anak-anak pun mengungsi di rumah papa, tinggal nyebrang sih, tapi tetap saja rasanya sedih. Singkat cerita hasil tes rapid suami non reaktif dan kami bisa berkumpul lagi. Apa pelajaran yang kami dapat? Sungguh tidak enak rasanya, baik dari sisi suami maupun saya dan anak-anak. Ada rasa takut, rasa sedih ngga bisa berkumpul, rasa marah, semua menjadi satu. 3 hari pertama rasanya berat sekali. Saya selalu membatin,'Kenapa sih begini ya Allah? Kenapa harus pisah? Kenapa harus kita? Kenapa? Capek ya Allah harus begini (bolak balik ke rumah, anter jemput makanan dan piring suami sambil urus 2 bocils)' Padahal suami amat menjaga kebersihan dan lain-lainnya. Lalu Allah beri kami petunjuk, saya terutama. Saya diarahkan untuk membaca dan menonton cerita dokter dan perawat yang merawat pasien Covid, mereka yang berjibaku membantu masyarakat dalam ikhtiar sembuh, apa kabarnya perasaan mereka harus terpisah berminggu minggu, berbulan bulan, ngga ketemu orang tua, suami/istri, anak-anak mereka. Bagaimana kabar keluarga mereka yang ditinggal gugur saat bertugas? Tidak bertemu berminggu minggu lalu harus berpisah raga selamanya? Rasanya saya tertampar, saya menangis di kamar, di rumah papa. Saya chat suami. Ketakutan, lelah, semua yang kita rasakan ini belum ada apa-apanya dibanding mereka. Sungguh saya malu, amat tidak bersyukur. Astaghfirullah..
Melihat teman-teman, keluarga, banyak orang dekat merasa jenuh di rumah saja, sudah mulai ke tempat umum, membawa anak mereka dengan dalih tetap menjaga protokol kesehatan, sedih rasanya. Ini tanggapan saya pribadi ya. Kenapa? Protokol kesehatan itu nomer satunya adalah menjauhi kerumunan, bukan? Apakah mati jika di rumah saja? Banyak sekali yang bisa dilakukan sebenarnya walau di rumah saja, masyaAllah. Belum lagi sudah mulai banyak yang mudik. Kangen katanya dengan keluarga. Padahal, saat kasus positif masih di angka seribuan, mudik dilarang, yang wajib seperti solat Jum'at pun dilarang. Dan kita sebagai muslim diperintahkan Allah dan Nabi untuk mentaati pemimpin kita, seperti apapun pemimpin kita, wajib kita taati selama mereka tidak menyerukan untuk berbuat maksiat atau kerusakan. Apakah ngga terpikir oleh mereka yang mudik kalau bisa saja kita yang membawa virus (carrier)? Kalau sampai iya, bukankah kita dzolim dengan keluarga yang kita datangi? Na'udzubillahimindzalik.. belum lagi, masyarakat +62 ini serba ngga enakan. Misal kita mudik, bawa bayi, menggemaskan (masyaAllah), ketemu sanak saudara yang pegang-pegang, cium sana sini (entah mereka sudah cuci tangan atau belum, sedang sakit atau tidak), apa berani menolak? Prakteknya sih pasrah ya, alasannya ngga enak, toh nanti bisa dibersihkan, insyaAllah aman (aamiinn). Tapiiii apa rasa ngga enak itu mengalahkan rasa sayang kita ke anak kita? Masa iya mau mengorbankan anak demi rasa ngga enak? Mohon maaf, saya dan suami bukan tipe yang begini insyaAllah ya. Terang-terangan saya minta mertua, orang tua, siapapun yang mau pegang anak saya untuk cuci tangan dulu, kalau sakit jangan dekat-dekat dan harap pakai masker. Tentu dengan cara yang baik, walau kadang saya sering kelepasan 🙏 Tapi pengalaman anak diopname saat bayi sungguh jadi pelajaran berharga untuk saya sekeluarga. Semoga kalian tidak perlu mengalaminya.
'Emangnya ngga kangen mudik? Ngga kangen sama keluarga lain?' Kangen! Banget! Hampir setahun ngga ketemu. Tapi demi kebaikan bersama, kami harus bersabar, membuang jauh ego. InsyaAllah, nanti akan Allah pertemukan kembali di waktu terbaik menurutNya.
2020 ini benar-benar tahun untuk belajar. Banyak belajar. Belajar sabar, belajar bersyukur, belajar ikhlas. "Kita sering baru bisa bersyukur saat melihat cobaan orang lain. Baru sadar kalau cobaan buat kita ini ngga ada apa-apanya dibanding cobaan orang lain. Baru sadar kalau Allah sayang banget sama kita," ucap suami.
Di penghujung tahun, semua masih sama di keluarga kami. Tidak ada acara keluar rumah kecuali mendesak sekali seperti kerja, imunisasi, belanja kebutuhan sehari-hari yang tidak bisa via online, atau solat Jum'at. Solat Jum'at ini pun baru-baru saja kami terapkan kembali, dengan menjaga jarak dan terus memakai masker tentunya, membawa sajadah antiair sendiri. Setelah pulang kerja atau bepergian selalu langsung mandi, sabunan, keramas, cuci dan bersihkan semua barang yang tadi kami bawa atau sentuh dengan disinfektan. Semua belanjaan mau online atau bukan, selalu dibersihkan satu per satu dengan disinfektan atau tissue antibakteri (yes, bukan tissue antivirus, karena ngga ada kan? 😅). Semua jajanan masakan yang dibeli via online food juga dibersihkan dulu lalu dihangatkan sebelum dimakan. Semua yang dari luar harus discreening dulu pokoknya. Lebay? Terserah. Yang pasti sebagian besar yang kami lakukan ini protokol kesehatan yang terus digaungkan di tivi kemarin-kemarin. Selain itu, kami peduli dengan kesehatan orang tua, anak-anak kami, dan tentunya diri sendiri. Memang nyawa Allah yang pegang, sudah ada jatahnya umur masing-masing. Sakitpun Allah yang ijinkan kena atau tidaknya. Tapi kalau kita abai atau sekedar 'ngga enak-an' sama orang lain lantas mengorbankan diri sendiri dan keluarga, bukankah itu termasuk dzolim?
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
وَمَاۤ اَصَا بَكُمْ مِّنْ مُّصِيْبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ اَيْدِيْكُمْ وَيَعْفُوْا عَنْ كَثِيْرٍ ۗ
"Dan musibah apa pun yang menimpa kamu adalah karena perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu)." (QS. Asy-Syura 42: Ayat 30)
Mari perbanyak istighfar, minta pada Allah untuk dijauhkan dari qadr buruk, kejahatan, orang-orang jahat, segala jenis penyakit, fitnah dunia dan lainnya. Selanjutnya ikhtiar, menjaga tubuh sempurna pemberian Allah ini. Terakhir, pasrahkan semua kepada Allah, karena Allah adalah sebaik-baiknya Pengatur, Allah Maha Tahu, Allah Maha Adil.
Tempatkan Allah selalu di awal dan akhir hidup, mulai semua dengan nama Allah, Sang Pemberi Kehidupan. Lalu usaha, dan akhiri dengan ama Allah juga. Jangan usaha dulu baru pasrah sama Allah, bisa jadi kita terhasut bisikan syaitan dan malah jadi menghebatkan usaha kita tersebut (walau kadang implisit). Karena kita manusia, mudah sekali jatuh pada godaan syaitan. Semoga Allah jaga kita selalu, senantiasa diberikan petunjuk dan hidayahnya agar selalu menjadi umatnya yang bersyukur.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا ۗ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَاۤ اِنْ نَّسِيْنَاۤ اَوْ اَخْطَأْنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَاۤ اِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهٗ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَا قَةَ لَنَا بِهٖ ۚ وَا عْفُ عَنَّا ۗ وَا غْفِرْ لَنَا ۗ وَا رْحَمْنَا ۗ اَنْتَ مَوْلٰٮنَا فَا نْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكٰفِرِيْنَ
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya. (Mereka berdoa), Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah pelindung kami, maka tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir." (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 286)
Wallahua'lam