16.12.15

Payung Merah



Kedua mata mereka saling bertatap. Diam seribu bahasa, hanya rintik hujan membunyikan genting, memecah kesunyian.

"Aku pergi...", ucap Lara perih sembari membawa kopernya berjalan keluar rumah, ke teras. Air matanya masih seperti gerimis, sementara langkah yang dinanti mengikuti tak kunjung datang, Lara membuka payung merahnya, menghela napas dalam, kembali melangkah menuju pagar.

Logika tidak lagi berkuasa di dalam kemudi otaknya, hanya ada kelibatan memori indah berputar di otak Dimas. Degup jantungnya makin bergemuruh di tiap langkah Lara, menjauh darinya. Hati ingin mengejarnya, menariknya kembali ke dalam rumah, memeluknya erat, berlutut di hadapannya jika perlu, dan berjanji bahwa semua akan baik adanya.

Dari dalam ruang tamu, payung merah itu sudah hampir menjauh. Kaki sang empunya berjalan melambat di dekat pagar,"Ah.. pasti dia akan menoleh, memintaku mengejar,"ucap Dimas dalam hati.

Jauh di pagar rumah, Lara memejamkan matanya, mengehela lagi napasnya sangat dalam. Berucap pada dirinya sendiri bahwa ini adalah keputusan yang bulat. Jangan pernah menoleh lagi ke belakang, kalau memang dia cinta, maka cinta itu akan menariknya kembali masuk ke dalam rumah. Dibukanya gerendel pagar, dan tanpa menutupnya kembali, Lara melangkah pasti berjalan di aspal menuju trotoar.

Rahang Dimas mengeras, tangannya mengepal. Logika berkata kalau mungkin memang mereka butuh berpisah sementara. Tetapi hati? Ia bertanya pada Dimas,'haruskah Lara pergi? Tidakkah cinta pantas digenggam lagi?' Dimas gundah. Ingin rasanya berteriak, namun lidahnya kelu. Hati kembali bersuara,'Kejar dia! Cintamu tidak pantas kau biarkan berlalu.'

Dimas berlari keluar rumah, melewati pagar yang setengah terbuka, mendapati payung merah dan empunya sudah jauh di depan sana. "LARA!"

Dimas berlari sambil terus meneriaki nama istrinya. Tubuhnya basah kuyup oleh hujan yang terjun bebas ke bumi. Semakin dikejar, payung merah malah terasa semakin jauh bersama empunya. Napasnya terengah, kelibatan memori indah dan sedih 6 tahun bersama Lara terus berputar-putar di kepala Dimas. Hanya ada Lara. Di kepala dan hatinya.

"LARA!"

Payung merah itu berhenti seiring langkah sang empunya. Gemuruh petir memecah suasana, mungkin para malaikat sedang asyik menyaksikan drama sepasang manusia ini.

Lara berbalik badan. Dilihatnya laki-laki yang sudah 6 tahun ini mengisi hidupnya penuh suka dan duka, tubuhnya lepek, rambutnya layu karena basah, napasnya terpogoh-pogoh, dan senyumnya... senyum itu merekah di hadapannya, diikuti pelukan erat dan hangat Dimas. Lara melepas payungnya hingga terjatuh ke aspal lalu memeluk erat Dimas. Wajahnya basah entah karena air mata atau hujan yang deras. Yang ia tahu, pernikahannya belum berakhir. Pertengkaran yang sering terjadi 3 bulan belakangan ini tidak mampu memisahkan mereka, setidaknya bukan sekarang. Walau buah hati belum hadir diantaranya, cinta Dimas dan Lara terus menguat di tiap cobaan.

Drama (nyaris) perpisahan ini sudah sering terjadi. Lara pun sebenarnya tidak ingin pergi meninggalkan rumah, tujuan pun dia tidak tahu kemana. Sudahlah, kini Dimas ada dalam pelukannya, berbisik hangat,"Ayo, kita pulang, sayang."

Payung merah itu diambil Dimas. Langkah mereka beriringan kembali ke rumah bernaungi payung merah, hadiah ulang tahun untuk Lara darinya 3 tahun yang lalu. Mungkin terlihat konyol atau sederhana, tapi yang Dimas mau adalah agar payung merah ini senantiasa melindungi Lara dari panas dan hujan, agar cintanya tidak sakit, agar cintanya senantiasa dinaungi cinta yang terus membara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar